
Penulis : Zihan Dwi Lestari
Pelecehan seksual merupakan masalah yang tak kunjung usai, bahkan di tempat-tempat yang seharusnya menjadi ruang aman bagi setiap individu, khususnya perempuan. Kasus yang baru-baru ini terjadi di Buleleng, Bali, mengungkapkan bagaimana pelecehan seksual sering kali terselubung dalam balutan candaan, sehingga sulit ditindak secara hukum dan sering kali dianggap remeh oleh masyarakat.
Pada Kamis, 12 September 2024, seorang perempuan yang sedang mengikuti survei lembaga di dua kelurahan di Kabupaten Buleleng mengalami pelecehan verbal yang terang-terangan. Meski di Kelurahan KK dia disambut dengan baik, pengalaman di Kelurahan KB berujung pada peristiwa pahit.
Dilansir dari ambararajanews.com tulisan yang berjudul “Aku Bungkam Maka Aku Munafik” yang ditulis oleh Etik Maesawardani. Awalnya, interaksi diwarnai dengan candaan biasa seperti pertanyaan tentang status perkawinan atau hubungan, yang masih dianggap wajar. Namun, candaan ini semakin melampaui batas hingga mengarah pada komentar seksual, seperti ajakan untuk “cap di dada” atau permintaan untuk “dipangku”. Semua ini terjadi di hadapan banyak orang, tanpa rasa malu atau penyesalan dari pelaku. Korban, yang tak kuasa menahan perasaan marah dan malu, hanya bisa diam. Meski emosi memuncak, dia terjebak dalam situasi di mana berbicara tampak mustahil. Ini adalah pengalaman yang sangat umum bagi korban pelecehan seksual yang merasa terpojok, tanpa kuasa, dan terdiam dalam ketakutan serta kebingungan. Pelaku-pelaku yang seharusnya menjaga amanah sebagai perangkat desa justru menyalahgunakan kekuasaan mereka, menggunakan “candaan” sebagai tameng untuk tindakan tidak bermoral mereka.
Kasus ini mencerminkan betapa pelecehan seksual kerap dianggap sebagai bahan lelucon. Dalam masyarakat patriarki, pelecehan verbal terhadap perempuan seringkali dianggap wajar, bahkan dijadikan lelucon oleh pelaku dan orang di sekitarnya. Ironisnya, para korban sering kali merasa dikucilkan dan disalahkan jika mereka bereaksi atau melawan. Dianggap “terlalu berlebihan” atau “tidak bisa menerima lelucon” merupakan stigma yang sering kali menimpa perempuan yang berani bersuara menentang pelecehan yang dialaminya. Ketakutan akan diskriminasi ini menyebabkan banyak perempuan memilih diam, membiarkan pelecehan terjadi tanpa perlawanan, dan pada akhirnya menciptakan lingkaran setan yang sulit diputus. Ketika pelaku merasa aman dan kebal dari tuntutan, pelecehan semakin dianggap normal, dan bahkan mencapai tingkat yang lebih serius, seperti pelecehan fisik.
Buleleng, khususnya Kota Singaraja, dikenal sebagai Kota Pendidikan. Kota ini diharapkan akan banyak melahirkan individu-individu terpelajar yang menjunjung tinggi moral dan menghargai sesama umat manusia. Namun, dengan adanya peristiwa pelecehan seksual yang terjadi di sana, citra tersebut tercoreng. Perilaku oknum yang melecehkan perempuan atas nama “bercanda” tidak hanya mencoreng nama baik Buleleng, tapi juga menunjukkan bahwa keamanan dan kenyamanan bagi perempuan di daerah tersebut masih jauh dari ideal. Yang lebih mengejutkan lagi, data menunjukkan bahwa kasus pelecehan seksual terus meningkat di Buleleng. Pada tahun 2022 saja, terdapat 15 kasus pelecehan, dan pada pertengahan 2024, jumlah terus meningkat menjadi 20 kasus. Jumlah tersebut hanya mencakup kasus yang dilaporkan, dan belum diketahui jumlah korban yang memilih bungkam atau tidak melapor. Ini semakin memperkuat fakta bahwa Kota Singaraja Buleleng, meski memiliki reputasi sebagai kota yang menjunjung pendidikan, tidak ramah bagi perempuan.
Melalui tulisan “Aku Bungkam Maka Aku Munafik”, Etik ingin menyampaikan bahwa perempuan harus melawan, harus berani bersuara ketika mengalami ketidakadilan. Jika korban memili untuk tetap diam, maka dia adalah bagian dari sistem yang membungkam perempuan dan menormalisasi pelecehan. Ini adalah bentuk perlawanan terhadap masyarakat yang sering kali menganggap remeh pelecehan seksual, membungkam korban, dan melindungi pelaku.
Tulisan ini sekaligus menjadi seruan agar pemerintah Buleleng mengambil tindakan tegas terhadap meningkatnya kasus pelecehan seksual. Pelaku harus dihukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, agar perbuatannya tidak terulang kembali dikemudian hari. Yang terpenting, pemerintah harus menciptakan ruang yang aman bagi perempuan dalam melakukan pekerjaan dan aktivitas sehari-hari. Bagi para perempuan, pesan dari tulisan ini sangat jelas, jangan pernah mau dibungkam. Jika kita tidak menyuarakan aspirasi kita, maka tidak akan ada yang melakukannya. Setiap perempuan mempunyai hak untuk merasa aman, dihormati, dan diperlakukan secara adil. Normalisasi pelecehan seksual harus diakhiri, dan kita semua memiliki tanggung jawab untuk menciptakan lingkungan yang lebih aman dan nyaman bagi perempuan. Mari kita berjuang bersama melawan setiap bentuk pelecehan, baik verbal maupun fisik, dan membangun masyarakat yang menghormati martabat setiap individu, tanpa terkecuali.